Sekilas
tentang Tragedi Minamata
Radar Lampung -
![]() ![]() |
![]() |
6079 Kali
Dibaca
|
BANDARLAMPUNG – Pada tahun 1950,
Jepang dihentak sebuah kasus pencemaran merkuri. Kasus ini disebut tragedi
Minamata atau Minamata Disaster. Peristiwa Minamata didokumentasikan dengan
baik oleh Goldberg pada tahun 1974. Hasil dokumentasi itu menggambarkan akibat
pembuangan limbah industri yang mengandung methyl mercury ke laut pada tahun
1930-an di Teluk Minimata.
Karena mengonsumsi ikan dan kerang
dari Teluk Minamata yang tercemar methyl mercury, ribuan penduduk dari dua
wilayah di pesisir Minamata, yaitu Provinsi Kumamoto dan Kagoshima, menjadi
korbannya. Minamata bukanlah penyakit menular atau menurun secara genetis.
Penyakit ini kali pertama ditemukan di Kota Kumamoto pada tahun 1956. Dan pada
1968, pemerintah Jepang menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh
pencemaran pabrik Chisso Co., Ltd.
Methyl mercury yang masuk tubuh
manusia akan menyerang sistem saraf pusat. Gejala awal antara lain kaki dan
tangan menjadi gemetar dan lemah, kelelahan, telinga berdengung, kemampuan
penglihatan melemah, kehilangan pendengaran, bicara cadel, serta gerakan
menjadi tidak terkendali. Beberapa penderita berat penyakit Minamata menjadi
gila, tidak sadarkan diri, dan meninggal setelah sebulan menderita penyakit
ini.
Penyakit Minamata tidak dapat
diobati, sehingga perawatan bagi penderita hanya untuk mengurangi gejala dan
terapi rehabilitasi fisik. Di samping dampak kerusakan fisik, penderita
Minamata juga mengalami diskriminasi sosial dari masyarakat. Seperti
dikucilkan, dilarang pergi ke tempat umum, dan sukar mendapatkan pasangan
hidup.
Methyl mercury dan uap merkuri logam
lebih berbahaya dari bentuk-bentuk merkuri yang lain, sebab merkuri dalam kedua
bentuk tersebut dapat lebih banyak mencapai otak. Pemaparan kadar tinggi
merkuri, baik yang berbentuk logam, garam, maupun methyl mercury dapat merusak
secara permanen otak, ginjal, maupun janin.
Penyakit ini sebenarnya tidak hanya
terjadi di Minamata. Tahun 1965, penyakit Minamata menyerang warga yang tinggal
di sepanjang Sungai Agano di Kota Niigata akibat pembuangan limbah merkuri oleh
Showa Denko. Penyakit ini dikhabarkan juga terjadi di Tiongkok dan Kanada.
Sungai dan danau di Amazon dan Tanzania juga tercemar merkuri serta menimbulkan
masalah kesehatan yang mengkhawatirkan.
Kini, masyarakat Minamata sangat
menghargai apa yang terjadi di waktu silam dan mengambil pelajaran dari kasus
limbah merkuri tersebut. Mereka lebih peduli akan lingkungan dan berjibaku
bersama menjaga lingkungan sekitar. Seperti menjaga kebersihan dan pengelolaan
sampah kota dengan manajemen yang baik, yaitu pemilahan sampah dan memanfaatkannya
lebih lanjut seperti pengomposan.
Lalu lumpur di Teluk Minamata yang
mengandung merkuri di atas 25 ppm dipulihkan dengan mengeruk sebagian lumpur
dan mereklamasinya. Kegiatan ini menghabiskan 48,5 miliar yen selama lebih dari
14 tahun. Kualitas air di Teluk Minamata saat ini menjadi air yang paling
bersih dan jernih di Kumamoto dan masyarakat tidak takut lagi untuk berenang
dan bermain di sana.
Data menyeluruh tentang laut
Minamata seperti kerusakan lingkungan yang sangat luas dan kesehatan penduduk
setempat perlu disampaikan ke seluruh dunia agar dapat belajar dari kasus
Minamata.
Semoga kita bisa meniru cara
masyarakat Jepang yang mau belajar dari pengalaman masa lalu.
Tragedi Teluk Buyat <9 Agust 2004>
Todung Mulya Lubis, Advokat Senior
Too little and too late: itulah ungkapan yang tepat untuk melukiskan langkah pemerintah dalam tragedi Buyat. Perhatian pemerintah baru tumbuh justru setelah sejumlah warga dan biota di kawasan teluk itu telanjur menjadi korban dari wabah penyakit. Padahal, jauh-jauh hari sebelum kasus ini meledak, potensi dan bahaya pencemaran ekologi di wilayah itu sebenarnya telah diekspos dan disuarakan oleh sejumlah LSM.
Kegigihan warga dan korban Teluk Buyat dalam mengejar keadilan telah mengungkap penyakit kronis penegakan hukum di sektor lingkungan. Ia, lebih jauh, lalu memaksa kita merasakan adanya semacam situasi darurat, yakni minimnya perhatian dan usaha dari pengelola kekuasaan negara dalam melindungi hak-hak warga atas lingkungan hidupnya. Situasi darurat itu jadi demikian terasa, bila diingat, sebelum tragedi Buyat sebenarnya kasus-kasus pencemaran dan perusakan ekologi serupa sudah berkali-kali terjadi. Proses self destruction terhadap bumi dan bangsa ini tak boleh terus dibiarkan.
Pemerintah, sebagai pengelola langsung kekuasaan negara, berkewajiban menjaga dan melindungi lingkungan hidup bagi warga negaranya. Dalam urusan itu, sudah waktunya pemerintah mengupayakan kebijakan-kebijakan yang tidak cuma memberi peluang bagi kalangan korporasi, tapi juga mendorong mereka untuk memenuhi kewajiban sosial mereka terhadap masyarakat dan lingkungan di mana mereka beroperasi.
Pelajaran penting dari tragedi teluk Buyat adalah betapa mendesaknya perlindungan hak-hak asasi manusia jadi bagian dari sikap kebijakan pemerintah terhadap korporasi-korporasi yang beroperasi di Indonesia.
Pemerintah harus bertanggung jawab
Kembali ke kasus Buyat: siapakah yang lalu harus bertanggung jawab dalam tragedi ini? Saya kira, pertanggungjawaban dapat dilihat dalam dua tingkat. Sebuah penelitian yang independen dan sungguh-sungguh sangat diperlukan untuk memeriksa duduk perkara dari pencemaran ekologi yang mengakibatkan wabah penyakit ini. Perusahaan yang dituduh harus membuka dirinya pada upaya penelitian ini untuk menentukan tingkat pertanggungjawaban yang bisa dimintakan kepada mereka. Pada tingkat pertanggungjawaban ini, korban bisa secara langsung menggugat perusahaan. Namun, dari perspektif hak-hak asasi manusia, sebenarnya pemerintahlah yang memiliki beban pertanggungjawaban paling tinggi.
Kenapa? Jawabannya: karena berdasarkan hukum internasional hak-hak asasi manusia, negara adalah pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia dari setiap warganya. Kendati benar bahwa tragedi Buyat telah memberi kita perspektif mengenai “non-state actors” sebagai pelaku pelanggaran hak-hak asasi manusia, namun sebetulnya ultimate responsibility dalam kasus ini tetap berada di tangan negara. Alasannya jelas: karena tidak ada korporasi mana pun bisa beroperasi di suatu negeri tanpa mendapat izin dari pemerintah. Sekali izin dikeluarkan, maka adalah imperatif bagi setiap pemerintah untuk memastikan bahwa korporasi dijalankan dengan kesesuaian dan kepatuhan terhadap standar-standar hak-hak asasi manusia internasional, termasuk ke dalamnya hak terhadap lingkungan yang sehat.
Kita ingin mendengar dari pemerintah, apa sebabnya tragedi ini bisa terjadi? Apakah pemerintah telah secara konsisten dan reguler melakukan kontrol terhadap praktik-praktik korporasi yang operasinya bisa berisiko pencemaran ekologi? Apakah pemerintah telah mengambil seluruh tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa setiap korporasi memiliki langkah-langkah pencegahan kerusakan lingkungan dalam operasinya? Tanggung jawab pemerintah yang pertama adalah melakukan sebuah penelitian yang jujur dan terbuka untuk memastikan bahwa kesalahan dapat dikenali dan diperbaiki.
Yang sangat penting juga: apakah pemerintah telah memiliki kebijakan terhadap para korban tragedi Buyat yang hak-haknya telah dilanggar? Sungguh tidak pantas bila pemerintah mengecil-ngecilkan kasus ini di saat para korban harus menghadapi kenyataan bahwa hidupnya terpaksa berubah dan tak bisa sama lagi seperti sebelumnya akibat tragedi pencemaran ekologi ini. Tanggung jawab kedua pemerintah adalah memastikan bahwa setiap keluhan korban didengar dan menjadi salah satu dasar bagi penyusunan kebijakan untuk menyantuni mereka.
Harus diingat bahwa tindakan pelanggaran hak-hak asasi manusia dilakukan dalam dua bentuk: act of commission dan act of omission. Apabila dapat dibuktikan bahwa sikap lalai pemerintah memiliki kontribusi pada terjadinya tragedi Buyat, maka pemerintah secara kategoris dapat dituduh telah melakukan pelanggaran. Maka warga dan korban Teluk Buyat juga sebenarnya bisa menggugat pemerintah.
Akhirnya, banyak pertanyaan-pertanyaan lain bisa diajukan untuk menuntut pertanggungjawaban. Namun, tidak kurang pentingnya untuk pada saat bersamaan juga mempertanyakan kepada pemerintah apa kebijakan mereka untuk mencegah hal yang sama berulang di masa datang?
Dari tragedi Buyat kita sebenarnya bisa belajar: bila pemerintah tidak memiliki strategi kebijakan untuk mendorong setiap korporasi memenuhi standar hak-hak asasi manusia internasional, maka kasus-kasus pencemaran ekologi lainnya sedang menunggu giliran meledak. Dari tragedi Buyat ini, kita harus merenungkan dan meninjau kembali, sikap dan tindakan kita terhadap kebijakan yang pernah diambil. ***
Too little and too late: itulah ungkapan yang tepat untuk melukiskan langkah pemerintah dalam tragedi Buyat. Perhatian pemerintah baru tumbuh justru setelah sejumlah warga dan biota di kawasan teluk itu telanjur menjadi korban dari wabah penyakit. Padahal, jauh-jauh hari sebelum kasus ini meledak, potensi dan bahaya pencemaran ekologi di wilayah itu sebenarnya telah diekspos dan disuarakan oleh sejumlah LSM.
Kegigihan warga dan korban Teluk Buyat dalam mengejar keadilan telah mengungkap penyakit kronis penegakan hukum di sektor lingkungan. Ia, lebih jauh, lalu memaksa kita merasakan adanya semacam situasi darurat, yakni minimnya perhatian dan usaha dari pengelola kekuasaan negara dalam melindungi hak-hak warga atas lingkungan hidupnya. Situasi darurat itu jadi demikian terasa, bila diingat, sebelum tragedi Buyat sebenarnya kasus-kasus pencemaran dan perusakan ekologi serupa sudah berkali-kali terjadi. Proses self destruction terhadap bumi dan bangsa ini tak boleh terus dibiarkan.
Pemerintah, sebagai pengelola langsung kekuasaan negara, berkewajiban menjaga dan melindungi lingkungan hidup bagi warga negaranya. Dalam urusan itu, sudah waktunya pemerintah mengupayakan kebijakan-kebijakan yang tidak cuma memberi peluang bagi kalangan korporasi, tapi juga mendorong mereka untuk memenuhi kewajiban sosial mereka terhadap masyarakat dan lingkungan di mana mereka beroperasi.
Pelajaran penting dari tragedi teluk Buyat adalah betapa mendesaknya perlindungan hak-hak asasi manusia jadi bagian dari sikap kebijakan pemerintah terhadap korporasi-korporasi yang beroperasi di Indonesia.
Pemerintah harus bertanggung jawab
Kembali ke kasus Buyat: siapakah yang lalu harus bertanggung jawab dalam tragedi ini? Saya kira, pertanggungjawaban dapat dilihat dalam dua tingkat. Sebuah penelitian yang independen dan sungguh-sungguh sangat diperlukan untuk memeriksa duduk perkara dari pencemaran ekologi yang mengakibatkan wabah penyakit ini. Perusahaan yang dituduh harus membuka dirinya pada upaya penelitian ini untuk menentukan tingkat pertanggungjawaban yang bisa dimintakan kepada mereka. Pada tingkat pertanggungjawaban ini, korban bisa secara langsung menggugat perusahaan. Namun, dari perspektif hak-hak asasi manusia, sebenarnya pemerintahlah yang memiliki beban pertanggungjawaban paling tinggi.
Kenapa? Jawabannya: karena berdasarkan hukum internasional hak-hak asasi manusia, negara adalah pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia dari setiap warganya. Kendati benar bahwa tragedi Buyat telah memberi kita perspektif mengenai “non-state actors” sebagai pelaku pelanggaran hak-hak asasi manusia, namun sebetulnya ultimate responsibility dalam kasus ini tetap berada di tangan negara. Alasannya jelas: karena tidak ada korporasi mana pun bisa beroperasi di suatu negeri tanpa mendapat izin dari pemerintah. Sekali izin dikeluarkan, maka adalah imperatif bagi setiap pemerintah untuk memastikan bahwa korporasi dijalankan dengan kesesuaian dan kepatuhan terhadap standar-standar hak-hak asasi manusia internasional, termasuk ke dalamnya hak terhadap lingkungan yang sehat.
Kita ingin mendengar dari pemerintah, apa sebabnya tragedi ini bisa terjadi? Apakah pemerintah telah secara konsisten dan reguler melakukan kontrol terhadap praktik-praktik korporasi yang operasinya bisa berisiko pencemaran ekologi? Apakah pemerintah telah mengambil seluruh tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa setiap korporasi memiliki langkah-langkah pencegahan kerusakan lingkungan dalam operasinya? Tanggung jawab pemerintah yang pertama adalah melakukan sebuah penelitian yang jujur dan terbuka untuk memastikan bahwa kesalahan dapat dikenali dan diperbaiki.
Yang sangat penting juga: apakah pemerintah telah memiliki kebijakan terhadap para korban tragedi Buyat yang hak-haknya telah dilanggar? Sungguh tidak pantas bila pemerintah mengecil-ngecilkan kasus ini di saat para korban harus menghadapi kenyataan bahwa hidupnya terpaksa berubah dan tak bisa sama lagi seperti sebelumnya akibat tragedi pencemaran ekologi ini. Tanggung jawab kedua pemerintah adalah memastikan bahwa setiap keluhan korban didengar dan menjadi salah satu dasar bagi penyusunan kebijakan untuk menyantuni mereka.
Harus diingat bahwa tindakan pelanggaran hak-hak asasi manusia dilakukan dalam dua bentuk: act of commission dan act of omission. Apabila dapat dibuktikan bahwa sikap lalai pemerintah memiliki kontribusi pada terjadinya tragedi Buyat, maka pemerintah secara kategoris dapat dituduh telah melakukan pelanggaran. Maka warga dan korban Teluk Buyat juga sebenarnya bisa menggugat pemerintah.
Akhirnya, banyak pertanyaan-pertanyaan lain bisa diajukan untuk menuntut pertanggungjawaban. Namun, tidak kurang pentingnya untuk pada saat bersamaan juga mempertanyakan kepada pemerintah apa kebijakan mereka untuk mencegah hal yang sama berulang di masa datang?
Dari tragedi Buyat kita sebenarnya bisa belajar: bila pemerintah tidak memiliki strategi kebijakan untuk mendorong setiap korporasi memenuhi standar hak-hak asasi manusia internasional, maka kasus-kasus pencemaran ekologi lainnya sedang menunggu giliran meledak. Dari tragedi Buyat ini, kita harus merenungkan dan meninjau kembali, sikap dan tindakan kita terhadap kebijakan yang pernah diambil. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar